Peternakan menjadi salah satu sektor vital di Indonesia. Sebagai sumber protein hewani, sektor peternakan di Indonesia diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Permintaan daging ayam, kambing, dan sapi di Indonesia terus meningkat. Elastisitas permintaan produk hewani relatif tinggi, tetapi ketersediaan barang rendah. Hal ini menjadikan harga daging ayam, kambing, dan sapi tidak stabil. Situasi ini menghadirkan peluang sekaligus tantangan bagi para peternak dan pengusaha daging di masa depan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.
Peternakan menjadi bagian dari Lima Komoditas Strategis Nasional yang terutama ditujukan untuk menyediakan pangan dari ternak yang aman, sehat, dan halal. Selain kuantitas, yang terpenting yakni menjamin kualitas sumber daya gizi manusia harus cukup.
Protein hewani memainkan peran penting dalam meningkatkan asupan protein, misalnya daging, telur dan susu. Selain itu, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatan, sehingga meningkatkan pendapatan dan kekayaan masyarakat, terutama para peternak.
Namun sayangnya, perkembangan budidaya ternak di Indonesia masih tergolong tradisional. Padahal permintaan akan daging terus meningkat.
Diperlukan adanya sentuhan teknologi untuk menghasilkan hasil panen yang optimal. Tidak sedikit juga ternak yang hampir panen, tetapi terkena penyakit sehingga menularkan kepada hewan lain.
Untuk mengatasi hal ini, startup pertanian “Pitik” melakukan digitalisasi peternakan. Hal ini dilakukan melalui kerja sama dengan Charoen Pokphand mengenai uji coba teknologi yang akan diterapkan pada kandang ayam. Teknologi yang dimaksud yakni smart farming dan machine learning.
Co-Founder sekaligus CEO Pitik, Arief Witjaksono, menyampaikan bahwa, kedua teknologi itu digunakan untuk meningkatkan efisiensi produksi kandang ayam broiler.
“Kerja sama ini menjadi langkah penting dalam proses digitalisasi sektor peternakan ayam di Indonesia, terutama karena Charoen Pokphand Indonesia merupakan perusahaan agro industri terbesar yang beroperasi di Indonesia sejak 1971,” ujar Arief dalam keterangan pers, Selasa (25/10).
COO “Pitik”, Rymax Joehana, menjelaskan bahwa, teknologi smart farming dilengkapi dengan perangkat Internet of Things (IoT), Camera Tech, dan Smart Scale.
Alat itu diklaim mampu mendeteksi temperatur, kelembaban, kadar ammonia, kecepatan angin, dan lainnya secara real-time. Faktor -faktor tersebut sangat penting untuk mendeteksi mengapa masa panen ternak ayam di Indonesia tergolong lambat.
Selain teknologi smart farming, terdapat juga teknologi machine learning yang dilengkapi dengan komputasi awan.
Algoritma dari machine learning ini diharapkan mampu memprediksi siklus produksi menjadi lebih akurat. Sehingga, jika terdapat satu ayam yang terkena virus atau penyakit dapat segera terdeteksi agar tidak menular ke ayam lain.
Saat ini, perangkat teknologi smart farming Pitik telah uji coba di lima lokasi farm dengan total populasi ayam 180 ribu ekor. Totalnya, sensor IoT Pitik terpasang di 500 titik di seluruh Jawa.
“Teknologi smart farming ini dari sisi penggunaan pun paling mengedepankan peternak (farmer-centric) sehingga mudah diimplementasikan,” ujar Antoni, Assistant Vice President Charoen Pokphand Indonesia
Kerja sama ini diharapkan mampu menghasilkan ayam-ayam yang dari segi kuantitas dapat mencukupi kebutuhan masyarakat Indonesia, pun dari segi kualitas daging yang dihasilkan sehat dan mengandung gizi tinggi.
Teknologi memang menciptakan efisiensi dan efektivitas untuk dapat menghasilkan hasil yang optimal. Memang diperlukan dana awal yang cukup besar untuk pengadaan teknologi, tetapi hasil yang diperoleh akan optimal dan dapat mengurangi risiko-risiko pengendalian akibat faktor-faktor yang mempengaruhinya.