Perkembangan teknologi yang semakin maju mempermudah beragai elemen masyarakat dalam menjalankan tugasnya, tidak terkecuali tenaga medis. Baru-baru ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengklaim penggunaan teknologi virtual reality (VR) dan augmented reallity (AR) telah masuk dalam rencana jangka panjang transformasi digital layanan kesehatan di Indonesia.
Virtual reality (VR) adalah sebuah teknologi yang memberikan pengalaman tiga dimensi pada pengguna yang dihasilkan oleh sistem komputer, seakan-akan nyata dalam bentu virtual. VR dapat digunakan untuk membantu profesional medis memvisualisasikan bagian dalam tubuh manusia, sehingga mengungkap area yang tidak dapat diakses. Salah satunya, pembedahan Cadavers, yang merupakan norma bagi setiap mahasiswa kedokteran baru, telah membuka jalan bagi studi anatomi manusia melalui VR.
Memahami bagaimana patah tulang terjadi dan diperparah dalam kehidupan nyata sangat berguna bagi ahli bedah ortopedi dalam pelatihan. Karena operasi invasif minimal sangat bermanfaat dalam mengurangi biaya operasi, komplikasi, dan waktu pemulihan, pelatihan berbasis VR berorientasi simulasi adalah metode yang sangat efektif untuk mentransfer keterampilan kepada calon ahli bedah laparoskopi.
Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Setiaji, Chief Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan. “Kedua teknologi itu bagian dari transformasi digital yang akan kami lakukan di pelayanan kesehatan,” ujarnya, Minggu (23/1/2022).
Keberadaan kedua teknologi tersebut tidak hanya dgunakan oleh tenaga medis, tetapi juga bisa dimanfaatkan oleh mahasiswa kedokteran di bidang riset dan pendidikan tentang health-tech.
Menurut Setiaji, teknologi AR dan VR akan sangat membantu di masa pandemi Covid-19 karena dapat mengurangi mobilitas sehingga akan menjadi lebih efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Berbeda dengan Setiaji, Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Dianta Sebayang mengatakan bahwa, momentum penggunaan AR dan VR saat ini belum tepat, mengingat literasi masyarakat masih rendah untuk memahami perubahan yang cepat. Terutama masyarakat yang berusia 40 tahun ke atas yang kemungkinan besar membutuhkan alat itu akan sulit untuk mengikuti perkembangan layanan digital. Selain itu, penggunaan koneksi internet, terutama 5G belum merata dinikamati masyarakat Indonesia.