Sampah menjadi bagian dari makhluk hidup. Setiap saat, manusia pasti menghasilkan sampah, entah dari daun kering, botol minum, logam, kain, dan lain-lain. Sampah menjadi bahan buangan karena telah kehilangan nilai utama, sehingga sebagian masyarakat menganggap sampah tidak memiliki nilai lagi.
Berdasarkan proses penguraiannya, jenis sampah dibedakan menjadi 2 yakni sampah organik dan anorganik. Sampah organik yakni sampah yang dapat dengan mudah terurai dengan alam, misalnya berasal dari manusia, hewan, atau tumbuhan. Sampah organik sendiri dibedakan lagi menjadi 2, yakni organik basah (misalnya dari sisa kulit buah dan sayur) dan organik kering (misalnya kertas, kayu, ranting pohon, dan daun kering).
Sedangkan, sampah anorganik yakni sampah yang sulit untuk terurai dengan alam karena bukan berasal dari makhluk hidup. Berasal dari bahan yang dapat diperbarui dan dari segi kandungan bahannya berbahaya, misalnya plastik dan logam.
Jenis pekerjaan yang tidak bisa dipisahkan dengan adanya sampah yakni pemulung. Pekerjaan yang sering mendapat pandangan sebelah mata.
Pemulung akan mengambil sampah-sampah yang dapat didaur ulang dan kemudian dijual pada pengepul. Proses ini yang diperlukan “Octopus” (startup recycle sampah berbasis teknologi) untuk menjalankan kegiatan usahanya.
Tanpa adanya pemulung, maka proses pemilahan sampah yang dapat didaur ulang dengan yang tidak, akan sulit. Oleh karena itu, mereka mengatakan istilah “pelestari” lebih cocok daripada pemulung.
Berbasis teknologi, pihak Octopus ingin pendapatan dari pemulung ini meningkat dengan adanya digitalisasi dalam pekerjaan mereka. Terbukti dengan banyaknya pemulung yang bisa menggunakan smartphone, hal ini akan memudahkan pihak Octopus untuk melakukan penetrasi, pengenalan aplikasi kepada mereka.
Selain melibatkan pelestari (pemulung), Octopus juga memerlukan kerja sama antara rumah tangga (sebagai penyedia sampah) dan pengepul. Nantinya, sampah yang dikoleksi ke dalam ekosistem Octopus, akan dijual langsung ke industri daur ulang. Jika diibaratkan, maka pemulung selayaknya ojek online atau kurir untuk mengambil sampah.
Teknisnya, rumah tangga akan menawarkan order sampah kepada pemulung. Pemulung yang lokasinya terdekat dengan rumah tangga tersebut akan menerima order sampah dan mengambilnya. Hal ini bertujuan agar pemulung tidak perlu jalan kaki terlalu jauh. Setelah itu, pemulung akan direkomendasikan tempat terdekat untuk menjual sampah mereka yang bisa didaur ulang. Octopus di sini juga menggandeng para pengepul dan bank sampah.
Jenis sampah daur ulang yang bisa dikumpulkan pun saat ini sudah beragam, mulai dari botol plastik minum atau produk kecantikan, plastik sachet, kardus, kertas, botol kaca, dan yang terbaru adalah sampah elektronik.
CEO Octopus, Moehammad Ichsan menyebut bahwa, pelestari (pemulung) yang sudah mendapatkan pelatihan dari mereka telah mencapai sekitar 15 ribu orang, dengan ratusan ribu pengguna aplikasi.
Untuk bank sampah dan pengepul yang sudah bergabung dengan ekosistem sudah ada sekitar 2.800 sampai tiga ribu titik. Octopus sendiri sudah melayani sejumlah wilayah di Indonesia di antaranya Makassar, Bali, Bandung, Jakarta, dan Depok.
Untuk meningkatkan ketertarikan masyarakat akan program ini, diberikan insentif dan reward tersendiri untuk para pengguna aplikasi, misalnya poin yang dikumpulkan bisa ditukar dengan berbagai macam seperti voucher makanan dan minuman atau voucher diskon Grab.
Dengan model B2B (business-to-business) menjadi cara Octopus untuk mempertahankan usaha mereka, di mana pendapatan perusahaan didapatkan dengan menjual sampah yang mereka kumpulkan langsung ke industri.
"Jadi kita jual langsung ke industri daur ulang, kita dapat margin, marginnya kita spread ke stakeholder-stakeholder tadi mulai dari bank sampahnya, pelestarinya, sampai ke pengguna sebagai insentif," jelas Ichsan.
Terakhir, ia berharap Octopus akan menjangkau seluruh Jawa hingga dapat melakukan ekspansi ke Asia Tenggara dalam lima tahun ke depan.
Penciptaan aplikasi ini mungkin tidak terpikirkan oleh sebagian orang awam. Namun, bagi mereka yang memiliki tingkat kepedulian tinggi terhadap pelestarian lingkungan dan peduli terhadap kelompok-kelompok pekerjaan yang dianggap remeh seperti pemulung, hal ini akan menjadi bagian penting bagi mereka.
Sampah-sampah yang dapat didaur ulang jika dibiarkan begitu saja akan merugikan penggunanya sendiri. Sehingga, diperlukan integrasi yang efektif dan efisien melalui digitalisasi aplikasi antara rumah tangga, pemulung, dan pengepul sampah untuk mendaur ulang sampah menjadi barang yang memiliki nilai kembali.